Sabtu, 29 November 2008

SPPT TERJEGAL, HAK RAKYAT ATAS TANAH

Pembaharuan agraria ( agrarian reform ) adalah agenda yang inklusif dengan reformasi sosial secara menyeluruh. Hak-hak rakyat atas tanah di Indonesia di jamin secara khusus oleh Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA), termaktub dalam Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan tiap-tiap warga Negara Indonesia baik, laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaatnya dan hasil yang baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Bahkan dalam penjelasan UUPA 1960 bagian II: 6. di tambahkan, … dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya. Tujuannya, bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.
Reforma agraria menjadi kebutuhan mendesak bagi ikhtiar menciptakan kemakmuran untuk masyarakat. UUPA tahun 1960, merupakan pedoman melaksanakan agenda-agenda reforma agraria di Indonesia dalam penataan system kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam. Seperti yang termuat dalam pasal 10 UUPA menegaskan: setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada dasarnya di wajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dalam mencegah pemerasan. Dan pasal ini memberikan kita sedikit pemahaman UUPA memberikan mandat kewajiban pada pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan perlindungan hak atas tanah dalam bentuk pemberian alas haknya.

Kasus di Nunukan
Kabupaten Nunukan merupakan pemekaran dari kabupaten induknya, Kabupaten Bulungan sejak tahun 1999. Dalam kurun waktu itu perkembangan pembangunan sangat pesat dalam membangun infra struktur. Berkaitan dengan hal ini, timbul masalah dalam proses pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah lewat tim 9 ( sembilan ), menyangkut pembayaran tali asih. dalam kasus pembebasan lahan seluas 620.000 m² dalam pengukuran yang dilakukan oleh pihak BPN Kabupaten Nunukan seluas, 719.414 m². pada tahun 2004 dengan mengunakan anggaran daerah tahun 2004. besar anggaran tersebut RP 11.102.308.680,-00 ( Sebelas Milyar Seratus Dua Juta Tiga Ratus Delapan Ribu Enam Ratus Delapan Puluh Rupiah).

Kasus ini bermula ketika berdasarkan hasil audit BPK RI, Pemerintah Daerah diminta untuk melengkapi data-data/dokumen-dokumen pendukung yang berkaitan dengan status kepemilikan tanah yang dibebaskan.

Selanjutnya pihak Kejaksaan Negeri Nunukan melakukan penyelidikan hingga penyidikan, dan menyeret 3 anggota dalam Tim 9 ( Sembilan) menjadi tersangka dan sudah ditahan oleh pihak kejaksaan, Yaitu Bapak H. Darmin Djemadil, kepala BPN Kabupaten Nunukan, Simon Sili ( Bendahara ) dan Arifuddin, SE (mantan Lurah Nunukan Selatan ).

Berdasarkan SK. Bupati No. 319/2004 dibentuk Tim Sembilan yang terdiri dari unsur pemerintahan daerah dan instansi vertikal yaitu : Bupati Nunukan, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan, Camat dan Lurah serta di Bantu oleh sekretaris bukan anggota dan asisten tata pemerintahan dan kepala seksi hak atas tanah kantor pertanahan dan Pimpinan Proyek. Masing-masing dinas membuat kajian dan analisis berdasarkan tugas dan wewenangnya. Setelah melalui kajian-kajian dan dianggap cukup maka dilakukan pembayaran terhadap tanah tersebut sebagai tali asih oleh pemerintah daerah.

Sejauh mana keterlibatan panitia 9 dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Bupati selaku ketua tim dalam pengadaan tanah, telah memberikan mandat tugas pada sekretaris daerah untuk melakukan koordinasi dengan anggota tim lainnya. Mulai dari peyelesaian administrasi sampai pada pembayaran tanah. Sementara wakil ketua tim di jabat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan.

SPPT Yang Terjegal Berdasarkan Kesimpulan Jaksa

Pada proses pemeriksaan oleh pihak kejaksaan menggangap bahwa tanah tersebut dengan dasar SPPT (Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang dimiliki muncul kesimpulan sementara: yaitu tanah yang di ganti rugi oleh pemerintah daerah kabupaten nunukan, adalah tanah Negara, dengan asumsi kejaksaan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah ( SPPT ) bukan dokumen kepemilikan hak yang sah. Jadi tanah tersebut tidak layak diganti rugi menurut Jaksa yang menangani kasus tersebut.

Investigasi yang penulis lakukan terhadap riwayat tanah tersebut yang di garap semenjak tahun 1971 oleh pihak keluarga Makmun. Muhamad Yusuf dan Sumiati Muhamad Yusuf serta Saparuddin Muhamad Yusuf ( keluarga Besar), informasi status tanah tersebut memiliki SPPT yang dicatatkan di kantor Desa Nunukan selatan tahun 2001. maka berdasarkan dokumen SPPT inilah pihak pengarap tanah memiliki lahan tersebut. Pertanyaannya dimana letak ketidak sah nya Dokumen tersebut. Penulis mencermati pada tahun 1971 sudah mulai melakukan pengarapan di atas lahan milik Negara sampai pada tahun 25 september 2001 si pengarap mendapat secarik kertas yang dinamakan SPPTdan dicatat dalam Buku Desa ( Arsip ), menyatakan si pengarap mendapatkan sebuah dukungan dokumen atas lahan yang digarap. Pemahaman umum terhadap tanah-tanah yang digarap di Kabupaten Nunukan hanya memiliki Dokumen SPPT dan itu sah sebagai dokumen pegangan masyarakat dan berlaku juga untuk membayar pajak hasil bumi

Berdasarkan data hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan, tanah yang dibebaskan tanggal 11 Agustus 2004 diukur oleh Saudara Jamaluddin dan digambar Rudi Agus, ST selaku staf Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Nunukan dengan hasil ukur 719414 m² ( 71, 94 Ha ) terdiri dari persil tanah milik H. Ramli H Ali seluas 261.250 m²( 26,13 Ha ) dan milik saudara Makmun seluas 458.164 m² ( 45,82 Ha ),dan berdasarkan penjelasan saudara Rudi Agus Priono tanah yang ukur berdasarkan luasnya saja sedangkan persil-persil tanah yang didalamnya tidak diukur. Adanya perbedaan selisih tanah yang dibebaskan. Adalah 620.000m² sementara tanah yang diukur seluas 719.414 m ².
Pada proses pemeriksaan oleh pihak kejaksaan menggangap bahwa tanah tersebut dengan dasar SPPT yang dimiliki tidak sah: yaitu tanah yang di ganti rugi oleh pemerintah daerah Kabupaten Nunukan, adalah tanah Negara, dengan asumsi Kejaksaan bahwa Surat Pernyataan Penguasaan Tanah ( SPPT ) bukan dokumen kepemilikan hak yang sah. Jadi tanah tersebut tidak layak diganti rugi menurut Jaksa yang menanggani kasus tersebut.
Menurut penafsiran UUPA tahun 1960 pasal 16 tentang hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 (1) ialah: 1. Hak milik. 2. Hak Guna Usaha ( HGU ). 3. Hak Guna Bangunan (HGB ). 4. Hak Pakai. 5. Hak Sewa. 6. Hak membuka Tanah. 7. Hak memungut hasil Hutan. 8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut.

“Untuk lebih mepertegas posisi SPPT yang di sangkakan tidak sah tersebut, penulis memberikan sebuah gambaran tentang proses lahan yang di sengketakan, berdasarkan surat SPPT yang di buat tanggal 27 oktober 2004, menerangkan pada tanggal 11 Agustus 2004, telah dilakukan pengukuran oleh salah satu instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional Kabupaten nunukan ( BPN ), melakukan pengukuran terhadap lahan serta pembuatan peta tanah. Seperti yang disampaikan diatas.

Tahapan dalam menyelusuri SPPT untuk kepemilikan lahan diatas lahan garapan adalah salah satu meminta dan membuatkan surat pernyataan untuk diajukan pada pemerintah, dalam hal ini lewat pemerintah desa yang mengetahui, dengan mencantumkan luas lahan dan batas-batas lahan beserta saksi. Setelah itu pihak desa mengeluarkan nomor surat tanah yang telah dicatatkan lewat buku besar desa atau lurah. Desa akan memberikan surat SPPT dengan mempertimbangkan tidak terdapat pengarapan ganda dan status tanah masih dimungkinkan bisa digarap oleh masyarakat untuk di manfaatkan berkebun atau bersawah. Lagi-lagi masyarakat dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit apabila SPPT dinyatakan bukan dokumen yang sah untuk mendapatkan pengakuan kepemilikan atas alas hak atas tanah,.oleh pihak kejaksaan.

Ironis memang siapa yang sebenarnya berhak mengeluarkan Surat Tanah. apabila Lurah ataupun Kepala Desa sudah tidak mau lagi mennyetujui pembuatan SPPT untuk pengajuan SPPT oleh masyarakat Kabupaten Nunukan. Alasannya Pihak Lurah Atupun Kepala Desa takut di penjara, alasan ini mungkin mereka akan berpikir ulang karena penjara menanti mereka. Fakta itu cukup bagi jaksa menjerat dan menangkapi. Di balik itu, masyarakat ingin mendapatkan hak atas tanah yang semestinya berpihak pada kepentingan rakyat.

Kasus pengadaan tanah menyita perhatian penulis untuk meletakkan kasus ini sebagai persoalan sosial. Dilihat dari segi penguasaan berdasarkan SPPT yang dimiliki oleh Makmun Muhamad Yusuf sekeluarga tidak ada unsur konfliknya ataupun tumpang tindih dalam penggarapan lahan, yang sudah dilakukan semenjak tahun 1971. bahkan pemerintah memberikan pengakuan dengan menerbitkan SPPT 25 November 2001. dan telah melakukan pengukuran yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Nunukan. Pada tanggal 11 Agustus 2004. sesuai dengan kutipan dibawah ini:

Mengutip UU RI N0. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal : 19. yaitu : Tentang Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah dalam UUPA 1960, Pasal 19. ialah :

  1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pen daftaran tanah di sedluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan pereturan pemerintah.
  2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasai ini meliputi :
    1. pengukuran, perpertaan, dan pembukuan tanah
    2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
    3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
  3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraanya, menurut pertimbangan menteri agraria;
  4. dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat ( 2) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tyersebut.

Penafsiran yang termuat disesuaikan kondisi daerah atau wilayah masyarakatnya melaluhi kaidah-kaidah yang berlaku lazim di masyarakat. Hak atas tanah bisa ditafsirkan pada subtansi hidup yang memberikan sumber kehidupan untuk keluarga yang memanfatkan tanah sebagai sumber ekonomi sekaligus fungsi social serta keadilan. Masyarakat pada kurun waktu di era orde baru, mengalami ketersumbatan pelayanan tentang cara mendapatkan secarik kertas hak garap diatas tanah yang sudah di garap. Kelaziman di daerah khususnya di wilayah Kabupaten Nunukan, untuk mendapatkan SPPT cukup, diurus pada tingkat Desa atau lurah, diatas kertas bermaterai selama ini tidak ada masalah bahkan pihak-pihak yang berwenang dalam hal ini BPN cukup membantu masyarakat dalam membuat akte tanah, dasar dari pembuatan akte tanah dan serpitikat rujukannya adalah SPPT.
Berkaitan dengan pembebasan/pelepasan hak atas tanah, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak- hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Pasal : 3 yang berbunyi.


a.
Meminta kepada para kepala daerah yang bersangkutan untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak tersebut, khususnya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu dan tentang penampungan orang-orang sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) huruf C.

b. Meminta kepada panitia penaksiran tersebut pada pasal 4 untuk melakukan penapsiran tentang ganti kerugian mengenai tanah dan / atau benda-benda yang haknya akan dicabut.

Ketentuan hukum tentang Pencabutan Hak-hak atas tanah ini, telah diperbaharui beberapa kali, yang terakhir adalah berdasarkan Kepres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan dilakukan perubahan berdasarkan Perpres No. 65/2006.

Dengan memperhatikan proses pembebasan/pelepasan hak atas tanah tersebut, tibul pertanyaan dimana letak muncul konflik? Justru penulis melihat Kepala Daerah dalam hal ini Bupati justru memberikan rasa aman dan keadilan pada pemilik lahan tersebut dilihat ada proses ganti rugi ( Tali asih ) yang diamanatkan dalam UU No 20 Tahun 1961,Jo. Kepres No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan dilakukan perubahan berdasarkan Perpres No. 65/2006, disini terlihat letak kekeliruannya tuduhan jaksa, yang mempersoalkan tentang status tanah yang tertera Tanah Negara, jaksa seharusnya melihat dan mempelajari tahun mulai digarapnya tanah tersebut ( riwayat Tanah ).

Proses Penegakkan Hukum Yang Diskriminatif

Kejaksaan Negeri Nunukan saat ini sedang melakukan penyidikan terhadap kasus Tindak Pidana Korupsi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Ruang Terbuka Kota Nunukan bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Nunukan (Melanggar UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam penyidikan kasus ini Kejaksaan Negeri Nunukan selaku penyidik telah melakukan penahanan terhadap para Tersangka, salah satunya adalah atas diri Sdr. ARIFUDDIN,SE. yang ditahan sejak 03 Nopember 2008 s/d sekarang.

Bahwa penetapan Sdr. Arifuddin sebagai tersangka adalah karena yang bersangkutan sebagai mantan Lurah Nunukan Selatan yang pernah menandatangani Surat Keterangan Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) dan sebagai anggota Tim Sembilan.

Bahwa memperhatikan proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan dalam kasus ini, Sdr. Arifuddin merasa telah menjadi “KORBAN KETIDAKADILAN DAN DISKRIMINASI” yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan, karena Sdr. Arifuddin tidak memperoleh keuntungan dari kegiatan proyek pelepasan tanah tersebut. Adapun keberadaan Sdr. Arifuddin dalam kaitannya dengan proyek pelepasan tanah tersebut adalah karena jabatannya selaku Lurah Nunukan Selatan saat itu.

Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dan menerima uang sebesar Rp 7 milyar dari proyek pelepasan tanah tersebut, dalam hal ini H.RAMLI, Keluarga MAKMUN, CS., serta pihak-pihak lain tidak ditetapkan sebagai Tersangka oleh Kejaksaan Negeri Nunukan?

Bahwa dengan proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Nunukan, Sdr, ARIFUDDIN merasa “TELAH DIZHOLIMI”, dan diperlakukan secara tidak adil oleh Kejaksaan Negeri Nunukan. Bahwa Kejaksaan Negeri Nunukan dalam melakukan penyidikan tidak menerapkan “Prinsip Persamaan didepan Hukum –Equality of Law” dalam proses penyidikan kasus tersebut;

Dengan semangat reformasi agraria. Rasanya aneh sekali kalau jaksa hanya menyeret tiga nama dijadikan tersangka, dan juga tidak terpenuhi rasa keadilan pada kasus ini, sementara orang-orang yang berperan dan menentukan masih belum tersentuh oleh hukum, kalau jaksa betul-betul menegakkan hukum, proses dan tangkap juga yang terlibat tanpa pandang bulu dan diskriminatif, karena hukum itu tidak mengenal pangkat dan jabatan seseorang semua sama di mata hukum.